Pancasila dan Keragaman

Posted: April 10, 2012 in Dinamisasi Bangsa
Tags: , ,

Menceritakan kepada kami Malik Fajar, salah satu tokoh Muhammadiyah, dalam pertemuan di padepokan Musya Asy’ari awal Januari 2012, ia berkata: “Saya mengingatkan kepada SBY saat itu, agar tidak semena-mena melarang Ahmadiyah, karena dia bisa di-impeach, melanggar HAM, karena UUD sudah jelas soal itu.”

 Menceritakan kepada kami Alissa Wahid, berkata kepada saya KH. Abdurrahman Wahid: “Yang saya lakukaan selama ini adalah meneruskan apa yang diwariskan Hadhratusy Syaikh Mbah Hasyim Asya`ari, dan ayah, KH. Abdul Wahid Hasyim. Kalau mereka (sebagian orang Indonesia) ingin mengganti Pancasila, kita akan berjuang di MPR agar yang sudah ada ini bisa kita pertahankan.”

Pancasila kembali dibicarakan di berbagai tempat, termasuk oleh MPR dan DPD yang sedang mensosialisasikan Pancasila dan konstitusi Indonesia. Diskusi-diskusi juga mulai menyinggung Pancasila, penulis menyaksikan sendiri, terlontar dalam pertemuan yang diadakan beberapa gerakan sosial (NGO). Dalam berbagai diskusi itu menyiratkan ada kerinduan sekaligus paradoks terhada Pancasila. Kerinduan, karena Pancasila masih memberikan ruang hidup bersama, tetapi sudah tidak banyak dibicarakan lagi, dilupakan. Sementara paradoks muncul akibat sejarah praktik (manipulasi) Pancasila oleh penguasa di masa lalu tidaklah kecil.

Paradoks, juga menyiratkan perlunya perebutan makna Pancasila untuk saat ini, yang dulu pemahamannya dimonopoli penguasa masa. Pardoks itu juga tetap menyadari bahwa Pancasila merupakan dasar kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang menjadikan berbagai macam orientasi kebangsaan dan kepentingan bisa hidup bersama. Di titik ini harapan tentang Pancasila menyiratkan perluanya pengembangan dan revitalisasi, senyinyir dan sepesimis apa pun  ketika disebut “Pancasila yang hidup”.

Dalam hal inilah penting mengutip apa yang disebut Bung Karno: “Dasar negara yang kita butuhkan ialah pertama, bisa mempersatukan; kedua, satu dasar yang bisa memberikan arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar statis di atas mana kita bisa hidup bersatu; dan dinamis kemana kita harus bisa berjalan, juga sebagai negara” (Soekarno, Ketuhanan Yang Maha Esa, kursus tentang Pancasila di Istana Negara tanggal 16 juni 1958).

Dalam sejarah kita sebagai bangsa, peran penting Pancasila adalah bisa “mempersatukan” dan ini tidak mungkin diabaikan, meskipun di sana-sini ada anomali yang tidak bisa ditutupi. Sila-sila dalam Pancasila adalah meja statis dari segi jumlah dan bunyi hurufnya yang bisa diterima oleh kebanyakan kelompok, dan karenanya ia bukan keranjang yang apa saja bisa dimasukkan. Meski begitu Pancasila juga mengandung arti dinamis, karena bisa memayungi berbagai orientasi dan kecenderungan semua anak bangsa menghadapi perkembangan zaman.

Aspek pemersatu dalam Pancasila, pada kenyataannya, dibuktikan setelah setengah abad lebih, bangsa Indonesia masih mempertahankan kebersatuan bersama sebagai bangsa. Meskipun disadari terjadi degradasi yang tidak kecil karena bangsa ini tidak kunjung bisa mewujudkan kemanusaian yang beradab dan keadilan sosial, dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembukaan UUD 45. Degradasi ini tidak menyurutkan arti penting  munculanya kesadaran dari banyak kalangan bahwa kita sebagai bangsa betul-betul majemuk yang saat ini masih ingin bersatu dalam sebuah bangsa.

Jauh lebih penting, karena tidak sedikit yang menyadari di tengah keragaman itu, bila satu kelompok berdiri tegak, berusaha memangkas kelompok lain dan meminta konsesi lebih dalam negara, ia akan menjadi sumber energi perusak-membahayakan. Bahkan adanya keragaman yang mungkin bertubrukan juga banyak disadari akan membahayakan kalau ia termanifestasikan di jalananan dalam bentuk kekerasan (apalagi kalau dilindungi), sweeping, dan pemakzulan hak kelompok warga negara tertentu. Aspek-aspek bahaya ini tidak mungkin diabaikan, apalagi dianggap tidak ada di tengah keragaman yang semakin kompleks saat ini.

Sulit diingkari  bahwa keragaman saat ini jauh lebih kompleks dari setting sosial lahirnya Pancasila di masa lalu. Di masa lalu aspeknya lebih pada ideologi yang saling berebut, dan dicontohkan pada tahun 1955 ada tiga  (Islam politik, Pancasila, dan sosio-ekonomi); juga pada tahun lahirnya Pancasila tahun 1945 dan pengakuan di PPKI, aspek-aspek keragaman yang dibayangkan tidak sekompleks sekarang.

Sekedar contoh, isu-isu keragaman yang jauh lebih luas ada saat ini, yaitu: hak asasi perempuan, gender, khilafah, kerusakan hutan, kekerasan berbasis agama, pemakzulan hak kelompok tertentu, hak-hak kaum adat-lokal yang terpinggirkan, dan lain-lain. Ini tentu saja belum termasuk “mayoritas tidak bersuara” dalam masyarakat akibat kemiskinan, langkanya akses publik, dan minimnya kesejahteraan yang dicipatakan negara.

Penegasan perlu dilakukan bahwa kesalahan mengelola keragaman akan berbahaya kalau berujung pada pemakzulan hak kelompok tertentu; dan membiarkan aneka kepentingan melakukan kekerasan di jalanan tanpa tindakan yang tegas dan adil. Dalam situasi ini, dalam beragam diskusi, menjelaskan bahwa Pancasila memberikan ruang atas berbagai orientasi, dan karenanya daya “pemersatu Pancasila” tidak mungkin diabaikan di tengah “kekerasan yang menunggangi kebebasan”, yang dalam kasus tertentu dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan dan kebiadaban.

Hanya saja, ada aspek penting yang sering diabaikan, yang menurut Gus Dur Pancasila mengandung arti perluanya Pancasila menjadi polisi lalu lintas antarkelompok “yang memerlukan batasan-batasan minimalnya, yang tidak boleh ditundukkan” (Gus Dur, 1991) oleh kelompok-kelompok; dan perlunya aspek dinamisasi masing-masing kelompok. Batasan minimal peran Pancasila tidak boleh dilanggar karena ia memberikan ruang hidup bersama, yang mengharuskan ruang lapang dada dan toleransi antarsesama anak bangsa.

Gagasan ini mengharuskan aspek lain, yaitu penempatan peran negara pada tempat semestinya; dan mendorong artikulasi antarkepentingan dalam saluran demokrasi yang beradab. Peran negara di sini perlu menjamin keselamatan dan hak masing-masing kelompok dan individu untuk bisa bersuara; sekaligus menjadi polisi antarkelompok yang adil, diperlukan bagi kelangsungan bangsa di jangka panjang. Sementara saluran demokrasi yang beradab, akan memberikan jaminan keselamatan kepada mereka yang takut terhadap pandangan lain; dan dengan saluran-saluran demokrasi itu pula akan ada kontrol publik.

Masalahnya, kalau negara tidak memerankan sebagai polisi antarkelompok; justru menjadi otoritas penafsir faham tertentu; memberi konsesi berlebihan terhadap kelompok tertentu; tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan mengalihkan problem internalnya ke isu ke percekcokan publik; dan kalau  negara dengan dasar Pancasila justru tidak lagi merasa perlu terhadap aspek adiluhung nilai-nilai Pancasila; dan lain-lain, maka upaya menjadi “Pancasila hidup justru terkunci” oleh para elit.

Tatkala kegelisahan itu muncul, ada yang menyodorkan “yang diperlukan adalah pengelolaan, bukan penegasian keragaman”. Menurut penulis, bukan hanya pengelolaan (yang selama ini disindir sebagai democrazy), tetapi sekaligus jaminan hak hidup, hak bersuara, dan hak berekspresi tanpa kecuali dari negara, sembari tetap menyadari bahwa mereka hidup di negara Pancasila yang harus bersatu dalam demokrasi yang beradab dengan diluberi keadilan sosial.

Jadi, pengelolaan keragamaan untuk menjaminnya harus ada dua kondisi sekaligus: pertama, negara harus bisa menjadi polisi antarkelompok secara adil, tidak mengabaikan hak-hak hidup masing-masing kelompok (dan ini mensyaratkan UU yang adil) yang segaris dengan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi dasar, tidak memberi konsesi berlebihan kepada kelompok tertentu sambil memakzulkan kelompok lain; dan kedua, adanya dinamisasi yang timbul dalam diri kelompok-kelompok, dengan menyadari bahwa ia hidup dalam negara Pancasila yang majemuk.

Aspek terakhir menegaskan bahwa gagasan kelompok harus meyediakan ruang lapang dada dan toleransi di dalam negara Pancasila bagai kelompok lain. Inilah yang kemudian berujung pada perlunya ke-Indonesiaan bagi kelompok-kelompok: apakah you HTI, FPI, NU, Muhammadiyah, Katholik, Protestan, dan lain-lain, you ada dalam kebangsaan Indonesia: jangan meng-Amerika-kan kami; jangan meng-Arab-kan kami. [nur khalik ridwan].

Leave a comment